Sangatta – Malam itu, pukul 19.00 WITA, langit Sangatta tampak tenang. Tapi di grup WhatsApp para wartawan muda, suasana sedang hangat-hangatnya. Agenda, futsal perdana komunitas mereka, yang dengan bangga (dan tanpa banyak pertimbangan) menamakan diri “Ujuk-Ujuk FC”.
Namun seperti takdir acara dadakan lainnya, semua ujuk-ujuk ingin datang tapi ujung-ujungnya telat. Lapangan sudah disewa, jam sudah berdetik, tapi baru pukul 19.30 WITA satu per satu anggota mulai berdatangan. Sementara waktu sewa hanya 1 jam, yang artinya pertandingan hanya bisa berlangsung selama 30 menit saja.
Tapi jangan salah. Meskipun hanya bermain setengah jam, rasa capeknya seperti habis tanding di Piala Dunia versi dunia bawah tanah. Keringat mengucur deras, nafas berbunyi seperti knalpot bocor, dan beberapa bahkan sudah mulai mempertimbangkan pensiun dini dari dunia olahraga.
Lapangan yang mereka sewa, Gedung Futsal Champion di Jalan Yos Sudarso Sangatta, sebenarnya nyaman. Rumput sintetis hijau membentang, jaring-jaring mengelilingi arena seperti pelukan lembut untuk bola-bola nyasar. Sayangnya, fasilitas mumpuni tidak bisa menyelamatkan stamina para pemain yang lebih sering mengandalkan energi tawa ketimbang kardio.
Tanpa kiper, pertandingan berjalan dengan sistem “jika bola kena tiang, itu dianggap gol”. Sungguh demokratis. Bahkan bola pun seperti bingung, ingin diarahkan ke mana, sebab para pemain lebih sering tersandung keringat sendiri daripada menggiring bola.
Beberapa pemain datang tanpa sepatu, bahkan para pemain lebih terkesan punya niat jalan-jalan ketimbang bermain futsal. Tapi tak ada yang marah, semua tertawa. Karena sejatinya, ini bukan soal skor atau skill ini soal tawa yang terus bergema meski dada serasa dibakar asap rokok.
Paru-paru mereka sudah bukan tempat oksigen murni, tapi gudang karbon dari lintingan yang dibakar sebelum, sesudah dan bahkan ditengah-tengah permainan. Salah satu dari mereka sempat berseru, “Paru-paru ini isinya sudah rokok semua, mau mati saja rasanya,” ungkap salah seorang dari mereka.
Dan seperti klimaks dari sebuah drama komedi, ketika peluit imajiner dibunyikan sebagai tanda waktu habis, datanglah satu orang terakhir, lengkap dengan semangat dan senyum lebar. Sayang, pertandingan sudah selesai. Yang lain hanya bisa menyambut dengan tepukan bahu dan tawa lelah, “nanti kita main bulutangkis aja yang bang,” ucap yang lain seperti trauma.
Ujuk-Ujuk FC tak butuh piala, cukup lapangan berjaring, teman-teman yang mau tertawa, dan waktu 30 menit yang bisa dikenang seumur hidup. Karena dalam futsal singkat ini, yang penting bukan menang atau kalah melainkan siapa yang paling dulu minta ganti karena ngos-ngosan.
Penulis: Erwin Febrian Syuhada






































