SANGATTA — Fraksi Rakyat Kutim (FRK) saat ini tengah merampungkan kajian mendalam atas keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kutai Timur Tahun Anggaran 2025. Berdasarkan telaah awal, ditemukan dugaan ketidaksesuaian proses penganggaran dengan norma yuridis yang berlaku, serta potensi penyimpangan dalam struktur tata kelola perencanaan yang melibatkan aparatur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kutim.
Faisal Afzalul Fauzan, peneliti sekaligus aktivis FRK, menyatakan bahwa hingga 11 Juli 2025, progres penyerapan anggaran masih jauh dari proporsional. Berdasarkan data dari laman resmi LPSE Kabupaten Kutai Timur, total nilai proyek yang telah ditayangkan maupun dikontrak, baik melalui mekanisme tender maupun non-tender, baru mencapai sekitar Rp124,9 miliar dari total pagu APBD 2025.
“Secara normatif, alokasi belanja daerah semestinya telah mencapai tingkat realisasi signifikan pada kuartal kedua hingga ketiga tahun berjalan. Fakta bahwa belanja publik masih stagnan menunjukkan adanya gangguan struktural dalam siklus penganggaran,” ujar Faisal.
Ia menjelaskan, ketidaksesuaian ini tidak berdiri sendiri, melainkan terjadi di tengah kepungan instrumen regulatif yang justru menekankan percepatan pelaksanaan belanja negara. Antara lain Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025, serta Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/833/SJ. Secara regional, Bupati Kutai Timur juga telah menerbitkan Instruksi dan Peraturan Bupati Nomor 10 Tahun 2025 sebagai revisi terhadap dokumen APBD sebelumnya.
Dalam perspektif FRK, lambannya realisasi bukan hanya merupakan persoalan administratif, tetapi mengindikasikan kegagalan fungsi kelembagaan dalam mendukung efektivitas fiskal daerah. “Permasalahan ini mencerminkan belum terbangunnya tata kelola pemerintahan daerah yang berbasis akuntabilitas dan transparansi,” tambah Faisal.
FRK menilai bahwa ada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses perencanaan dan penganggaran, yang mengakibatkan tersendatnya pengesahan Perda APBD Perubahan yang bersifat strategis. Penundaan ini bukan hanya berdampak pada kelambanan proyek pembangunan fisik, namun juga berisiko mengganggu stabilitas pelayanan publik dan program-program prioritas sosial-ekonomi.
Sebagai langkah advokasi kebijakan berbasis bukti, FRK mengaku telah mengantongi sejumlah dokumen dan data empiris terkait identitas serta peran oknum yang diduga menyebabkan stagnasi ini. Temuan tersebut akan disusun dalam bentuk laporan lengkap kepada lembaga negara yang relevan, termasuk lembaga pengawasan anggaran dan penegakan hukum.
“Upaya ini kami lakukan sebagai bagian dari penguatan sistem pengawasan partisipatif. Tujuannya bukan hanya membongkar masalah, tapi juga memastikan agar proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran ke depan dapat berjalan sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,” pungkasnya.






































