Baru-baru ini pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah menyampaikan Nota Penjelasan Pemerintah terhadap Rancangan peraturan daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2024. Secara umum di atas kertas, laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur Tahun Anggaran 2024 terlihat cukup rapi.
Pendapatan daerah tercatat mencapai Rp10,44 triliun atau 79,90 persen dari target. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bahkan meningkat tajam hingga 182 persen, sungguh kejutan yang hanya bisa dilihat di excel. Karena dalam laporan tersebut tidak dijelaskan apakah lonjakan itu hasil dari optimalisasi pajak tambang dan properti? Atau hanya euforia administratif yang menumpuk target di awal dan mencatat sisanya sebagai “keberhasilan”?
Jika dicermati lebih dalam, justru muncul paradoks. Belanja daerah hanya terealisasi Rp12,06 triliun dari target Rp14,80 triliun, atau sekitar 81,51 persen. Belanja operasional seperti gaji pegawai dan biaya rutin birokrasi mendominasi realisasi, mencapai 83,58 persen. Sebaliknya, belanja modal yang seharusnya menyentuh langsung pembangunan infrastruktur publik justru lebih rendah, hanya 76,34 persen dari pagu.
Ini menunjukkan bahwa Kutai Timur masih terjebak dalam logika administrasi ketimbang pembangunan. Alih-alih mempercepat penyediaan fasilitas dasar seperti air bersih, sekolah, atau layanan kesehatan, anggaran justru lebih nyaman mengalir untuk rutinitas pemerintahan.
Ironi lain muncul dari belanja tidak terduga. Tahun 2024, Pemkab Kutim menganggarkan Rp20 miliar untuk keperluan darurat, tetapi tidak digunakan sama sekali. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian akibat perubahan iklim, bencana ekologis, dan potensi konflik agraria, nihilnya penggunaan anggaran kontingensi ini menandakan lemahnya antisipasi dan keberanian pengambilan kebijakan responsif, padahal daerah ini tak pernah absen dari kejutan banjir.
Lebih jauh lagi, laporan keuangan juga mencatat investasi jangka panjang senilai Rp286 miliar dalam bentuk penyertaan modal kepada BUMD, serta investasi properti daerah senilai Rp379 miliar. Namun laporan itu tidak menjelaskan bagaimana kinerja BUMD atau seberapa besar dampak ekonomi dan sosial dari properti daerah tersebut. Singkatnya tidak disebutkan berapa BUMD itu menyumbang ke kas daerah? Apa saja propertinya? Apakah hotel kosong? Ruko sunyi?
Tanpa informasi tentang hasil (dividen, manfaat sosial, atau pengurangan ketimpangan), angka-angka itu hanya menambah beban akuntansi, bukan menjawab kebutuhan warga.
Saldo akhir kas pemerintah sebesar Rp113,99 miliar sebagian besar mengendap di rekening kas daerah dan unit layanan kesehatan. Di sisi lain, warga di pedalaman dan pesisir Kutai Timur masih kesulitan mendapatkan akses pelayanan dasar. Ini menjadi gambaran nyata bagaimana surplus kas bisa terjadi di tengah defisit kesejahteraan. Sederhana. Di kas kita kaya, di rumah tangga kita susah.
Laporan keuangan ini memang mematuhi prinsip akuntansi yang sah. Namun transparansi formal tak boleh menutup mata kita dari ketimpangan nyata. Efisiensi anggaran bukan satu-satunya ukuran keberhasilan. Ukuran sejati adalah sejauh mana APBD mampu menjawab kebutuhan rakyat, memperkecil jurang kesenjangan, dan mempercepat pemerataan pembangunan.
APBD semestinya bukan hanya tentang neraca yang seimbang, tetapi juga tentang keberanian untuk berpihak. Dalam konteks ini, masyarakat sipil, DPRD, dan media punya tanggung jawab besar untuk menagih arah baru pengelolaan anggaran, yang lebih partisipatif, transparan secara substansial, dan berpijak pada keadilan sosial dan ekologis.
Penulis: Erwin Febrian Syuhada







































